Buntut Hak Pekerja Tidak Dibayar, Komisi IV DPRD Batam Gelar RDP dengan PT Maruwa Indonesia

Batam | Sejumlah pekerja PT Maruwa Indonesia di Batam hingga kini belum menerima hak keuangannya, baik gaji maupun pesangon.

Namun, persoalan ini bukan disebabkan oleh perusahaan yang bangkrut.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPRD Batam, Manager Production Control PT Maruwa Indonesia, Aris Sianturi, menjelaskan bahwa masalah bermula dari keputusan komisaris induk perusahaan, Maruwa Corporation yang berbasis di Malaysia.

Kesepakatan itu untuk mengakuisisi terhadap dua anak usahanya Maruwa Malaysia dan Maruwa Indonesia yang ada di Batam.

Pada 20 Mei 2025, Komisaris sempat menemui karyawan di Batam dan menyampaikan bahwa perusahaan akan tetap beroperasi.

“Jadi saat menemui karyawan pada 20 Mei 2025, komisaris menyampaikan perusahaan akan tetap berjalan dan sudah disiapkan orang-orang kepercayaan untuk mengelola, seorang CEO, Vice President, dan CFO. Ia juga berjanji suplai material ke pabrik di Batam tidak akan terputus,” ujar Aris dalam rapat dengar pendapat, Rabu (28/5/2025).

Namun, dalam pelaksanaannya hanya Maruwa Malaysia yang diakuisisi oleh investor asal Hong Kong. Sementara Maruwa Indonesia ditinggalkan.

Akibatnya, suplai material ke Batam terputus total dan berujung PHK karyawan. Padahal perusahaan masih menerima pesanan sejumlah proyek.

“Tapi entah kenapa cuma sebelah (Maruwa Malaysia) yang diakuisisi, harusnya kan dua-duanya,” tuturnya.

Aris menyebut bahwa dua anak usaha Maruwa tersebut adalah sister company yang saling bergantung.

Karena hanya satu pihak yang diambil alih, operasional di Batam lumpuh.

“Kalau dari 10 tahapan kerja, 5 dikerjakan di Malaysia, sisanya diselesaikan di Batam. Ketika salah satu berhenti, otomatis rantai itu putus,” lanjutnya dalam rapat dengar pendapat.

Yang menyedihkan, menurut Aris, keputusan sepihak itu diambil direksi induk untuk mendanai proyek baru Maruwa di Jepang.

Kini, Maruwa Indonesia tak memiliki cukup aset untuk melunasi kewajiban terhadap karyawan.

Pihak karyawan menaksir total hak yang harus dibayar sekitar Rp 14 miliar, merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Bukan 12 Miliar seperti yang diberitakan. 12 Miliar itu, hitungan mereka setelah 14 Miliar dikurangi nilai aset yang nilainya hanya 2 Miliar lebih. Belum ada deal-dealan sebenarnya, 14 Miliar itu permintaan kami, Namun tidak didengar,” terangnya.

Sementara nilai aset perusahaan hanya sekitar Rp2 miliar, membuat pembayaran gaji dan pesangon mustahil dipenuhi tanpa campur tangan pihak induk.

Ironisnya, pihak perusahaan kini justru menutup seluruh komunikasi dan menunjuk dua orang likuidator Nico Lambert dan Salmon untuk menangani aset perusahaan.

Karyawan menyebut likuidator bahkan datang ke pabrik dengan pengawalan aparat.

“Padahal kami sudah mediasi sampai tahap akhir, tinggal menyelesaikan sedikit saja. Sekarang harus mulai dari awal lagi. Bangsa Indonesia justru membela pihak asing, sementara kami hanya menuntut hak kami,” tutupnya.

Dalam rapat dengar pendapat tersebut baik komisaris maupun pejabat tinggi perusahaan tak hadir dalam rapat dengar pendapat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *