Dugaan Keterlibatan 10 Mantan Polisi Perkara Penggelapan Narkoba, JPU Kejari Batam Hadirkan Eks Subnit II Satresnarkoba Barelang Sebagai Saksi

Batam | Sidang lanjutan perkara narkotika yang melibatkan 10 anggota kepolisian yang pernah bertugas di Satuan Reserse Narkoba (Satnarkoba) Polresta Barelang kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Kamis (10/4). Dalam persidangan tersebut, jaksa menghadirkan beberapa saksi.

Salah satunya mantan polisi yang mengungkap adanya aliran dana dari bandar narkoba kepada polisi. Permintaan dana itu disebut untuk biaya operasional pengungkapan kasus narkoba.

Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tiwik, didampingi hakim anggota Douglas dan Andi Bayu. Sebanyak 12 terdakwa hadir di ruang sidang, terdiri dari 10 mantan anggota Satnarkoba dan 2 terdakwa sipil.

Adapun ke-10 terdakwa dari kepolisian adalah Satria Nanda, Alex Candra, Jaka Surya, Shigit Sarwo Edi, Ibnu Marfu’m, Rahmadi, Fadillah, Ariyanto, Junaidi Gunawan, dan Wan Rahmad. Sementara dua terdakwa sipil adalah Aziz Martua Siregar dan Zulkifli Simanjuntak. Seluruh terdakwa didampingi oleh penasihat hukum masing-masing.

Jaksa menghadirkan saksi bernama Rendra Agus Putra Manihuruk, yang merupakan mantan anggota kepolisian. Dalam keterangannya, Rendra mengaku adalah anak buah dari Azis.

“Terdakwa Azis banyak usaha, ada jackpot, rumah makan dan juga bandar sabu besar. Saya anak buah Aziz,” ujar Rendra.

Menurut dia, ia diperintah oleh terdakwa Aziz untuk menyerahkan uang kepada dua anggota polisi, yakni Junaidi dan Alex. Uang itu diserahkanny di depan Kantor Lurah Simpang Dam, yang ia lupa hari dan tanggalnya.

“Saya diperintah Aziz untuk mengantarkan uang ke Junaidi dan Alex. Jumlahnya saya tidak tahu karena tidak saya buka. Penyerahan dilakukan di depan kantor Kelurahan Simpang Dam, dekat rumah Aziz, sekitar bulan Juni, sebelum tengah hari,” ujar Rendra dalam persidangan.

Menurut Rendra, saat penyerahan uang berlangsung, hanya ada Junaidi dan Alex yang datang menggunakan mobil Avanza putih, dengan Junaidi sebagai sopir.

“Mereka bilang uang itu untuk pengembangan kasus narkoba,” lanjutnya.

Dijelaskan Rendra, ia merupakan mantan polisi yang pernah bertugas di Polresta Barelang, junior dari terdakwa Sigit. Namun di tahun 2019 ia keluar, karena alasan permasalahaan keluarga.

“Saya ditangkap bulan September, yang saya lupa waktunya. Saya diperiksa, dan dites urine positif narkoba. Diperiksa di penyidik di bawah jam 12 malam,” jelasnya.

Disinggung terkait barang bukti 1 kilogram sabu, Rendra mengaku tidak tahu menahu. Yang ia tahu, ia diminta Azis menyerahkan uang yang ia tak tahu jumlahnya ke pada Alex dan Candra.

“Saya tak tahu jumlahnya, terkait sabu 1 kg saya tidak tahu. Namun Azis memang pemain besar yang punya banyak usaha,” ungkapnya.

Seluruh keterangan saksi, dibantah oleh para terdakwa, termasuk Azis. Namun Azis tak menapik kenal dengan Rendra karena teman satu angkatan. Dalam bantahannya, Azis sempat bersuara keras, mempertanyakan keterangan Rendra yang direkayasa.

“Tidak benar itu, kamu pasti ditakut-takut polisi yang banyak di luar sana, makanya kamu buat cerita tak benar,” tegas Azis sambil menunjuk saksi Rendra.

Hakim Tiwik sempat menengahi terdakwa Azis agar tidak berbicara keras, karena saksi punya hak dengan keteranganya.

“Saya ingatkan terdakwa untuk tidak berbicara keras,” tegas hakim Tiwik.

Sementara Rendra usai mendengar tanggapan para terdakwa atas keterangannya, mengaku tetap pada keterangannnya.

Diketahui, kasus dugaan tindak pidana narkotika yang menyeret 10 anggota polisi bergulir di Pengadilan Negeri Batam, sejak Kamis (30/1).

Dalam dakwaan, terungkap para terdakwa polisi tak hanya menyalahgunakan barang bukti narkoba jenis sabu. Namun juga menjemput 44 kilogram sabu hingga perbatasaan Malaysia, dengan membayar upah tekong Rp 20 juta dan upah informan Rp 20 juta perkilogram.

Dakwaan menjelaskan bahwa kejadian tersebut berlangsung antara bulan Juni hingga September 2024. Berawal dari salah satu ruangan Satnarkoba Polrest Barelang.

Kasus bermula dari informasi terkait penyelundupan 300 Kg sabu dari Malaysia yang diperoleh Rahmadi SI seorang informan. Namun, rencana tersebut batal hingga akhirnya muncul informasi baru pada Mei 2024 mengenai masuknya 100 kg sabu ke Indonesia.

Atas informasi tersebut, beberapa terdakwa menggelar pertemuan di One Spot Coffee, Batam, guna membahas distribusi barang haram itu.

Awalnya, rencana penyelundupan mengalami kendala, namun setelah Ditresnarkoba Polda Kepri mengungkap kasus narkotika di Imperium, Batam, serta adanya tekanan dari pimpinan Polresta Barelang agar segera mengungkap kasus besar, Satria Nanda diduga memerintahkan timnya untuk kembali menjalankan operasi ini.

Dalam rapat lanjutan, terdakwa Shigit Sarwo Edhi sebagai Kanit memberikan arahan kepada Fadillah dan Rahmadi untuk memastikan eksekusi berjalan lancar. Rencana itu mencakup pembagian 100 Kg sabu, di mana 90 Kg digunakan untuk pengungkapan kasus, sedangkan 10 Kg lainnya diduga disisihkan untuk membayar SI dan keperluan operasional. Pada akhirnya, strategi tersebut mendapat persetujuan Satria Nanda meski awalnya ia menilai skema itu berisiko tinggi.

Hingga akhirnya, pada bulan Juni, beberapa terdakwa menyewa Awang seorang tekong untuk mengambil sabu dari Malaysia. Awang diupah Rp 20 juta dan melaju dari Perairan Nongsa, menuju Tanjung Uban hingga ke Malaysia.

Awang membawa kapal seorang diri, dikawal oleh beberapa terdakwa (polisi) menggunakan kapal terpisah. Namun diperbatasan, para terdakwa berhenti. Sedangkan Awang masuk ke perairan Malaysia.

Setelah Awang kembali dari perairan Malaysia, para terdakwa kembali mengawal Awang hingga perairan Nongsa. Sesampai di perairan Nongsa, Awang tetap berada diatas kapal, sedangkan para terdakwa mengambil dua tas besar dan memasukan ke dalam mobil warna silver untuk menuju Satnarkoba Polresta Barelang.

Di Satnarkoba Polresta Barelang, para terdakwa menghitung jumlah sabu didalam dua tas ada 44 bungkus, yang masing-masing bungkus berisi 1 kilogram. Sabu-sabu tersebut kemudian disisihkan 9 bungkus dan disimpan di tempat terpisah.
Untuk 35 bungkus lagi atau 35 kilogram, dilaporkan untuk diekspos dan disetujui oleh Kasat yang saat itu berada di Bandara Hang Nadim Batam.

Dalam pertemuan para terdakwa dan kasat, kasat juga sempat mengucapkan selamat kepada para terdakwa karena sudah sukses bekerja. Yang kemudian ditentukan waktu untuk melakukan ekspos perkara nantinya. Para terdakwa kemudian menghubungi Poy (DPO), untuk mencari orang yang akan membawa sabu itu ke Jakarta. Dan Poy mendapatkan 3 orang, yakni Effendi, Nely dan Ade.

Dua diantara kurir adalah pasangan suami istri yang dijanjikan upah Rp 150 juta dan Ade yang dijanjikan upah Rp 10 juta. Namun dalam aksi itu, para polisi yang semula memiliki barang, melakukan aksi penyergapan kepada ketiganya. Orang suruhan Poy ditangkap ditangkap di dekat Jembatan Barelang dengan barang bukti 35 kilogram sabu.

Tak hanya itu, 9 kilogram sabu yang disisihkan itu kemudian dijual, salah satunya kepada Azis dengan harga Rp 400 juta per kilogram. Namun diperjalanan, Azis tak melunasi sisa dari pembelian sabu tersebut. Perbuatan para terdqkwa dijerat dengan pasal 112 ayat 2 UU narkotika jo 132 jo pasal 64 UU narkotika. Atau pasal 114 ayat 2 Jo 132 Jo 64 UU narkotika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *