Tanjung Pinang | Warna kuning menjadi mayoritas pada Masjid Raya Sultan Riau yang berlokasi di Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Dari namanya, mungkin kita sudah bisa menebak jika Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat ini punya sejarah yang kental dengan budaya Melayu.
Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat selain menjadi satu di antara masjid tua dan bersejarah di Indonesia, juga menjadi satu di antara destinasi wisata Kepri.
Bila hendak ke Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, kamu bisa menggunakan transportasi laut yang biasa disebut kapal pompong.
Tarif per orang dikenakan Rp 8 ribu per orang dengan lama perjalanan sekitar sepuluh menit.
Dari dermaga penyeberangan atau Pelabuhan Sri Bintan Pura (SBP), bangunan masjid yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan yang ada di Pulau bersejarah tersebut.
Ada 13 kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi kurang lebih 18 meter.
Jika jumlah kubah dan menara digabungkan, menjadi angka 17.
Jumlah ini melambangkan sebagai jumlah rakaat dalam salat.
Luas keseluruhan kompleks masjid sekitar 54,4×32, 2 meter.
Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang.
Pada halaman masjid, juga terdapat dua rumah sotoh, diperuntukan bagi para musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah.
Tidak hanya itu, ada juga dua balai di halaman masjid tepat di bagian tengah.
Diperuntukan sebagai tempat menaruh makan bila ada acara kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan suci Ramadhan.
Selain itu, ada keunikan dalam pembangunan masjid yang dibangun pada 1 Syawal 1248 H atau 1832 Masehi oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, seorang Sultan Kerajaan Riau-Lingga pada 1831-1844 M.
Dimana campuran bahan bangunan dalam membangun masjid dari putih telur.
Putih telur digunakan sebagai bahan perekat yang dicampur dengan pasir atau tanah liat serta kapur.
Konon ceritanya, saat akan dibangun masjid tersebut, Raja Abdurrahman berseru kepada rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong.
Panggilan yang telah menggerakkan hati rakyatnya itu pun datang dengan dari seluruh pelosok teluk, ceruk dan Pulau di kawasan Riau Lingga.
Mulai dari bahan bangunan, tenaga hingga makanan pun berdatangan.
Bahan makanan itu termasuk telur dengan jumlah banyak.
Bahan makanan yang setiap hari diolah menjadi makanan itu tentunya diperuntukan bagi seluruh orang yang bekerja membangun masjid.
Bukan hanya laki-laki saja, kaum perempuan yang dimotori Raja Hamidah pun turut serta membantu.
Merasa bosan dengan bahan makanan telur, saat itu orang-orang hanya memakan kuningnya saja.
Hingga putih telur dimanfaatkan arsitek sebagai perekat bahan bangunan.
Dengan usia masjid kurang lebih 200 tahun lamanya, saat dicek menggunakan alat scan bangunan, masjid ini ternyata tidak menggunakan besi beton sebagai pondasinya. Itulah hebatnya bahan bangunan yang digunakan saat itu yang juga dicampurkan putih telur.
Dari pintu utama masjid, pengunjung dapat melihat mushaf Al-Quran tulisan tangan yang diletakan dalam peti kaca.
Mushaf ini ditulis Abdurrahman Stambul, putra Riau asli Penyengat yang diutus oleh Sultan untuk belajar di Turki pada 1867 M.
Lalu, pada sebuah mimbar terbuat dari kayu jati yang didatangkan khusus dari Jepara.
Selain itu, masjid memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang seperti, tempat wudhu terpisah untuk laki-laki dan perempuan, termasuk toiletnya.
Sebagai informasi, untuk Pulau Penyengat ini, merupakan mas kawin pernikahan antara Raja Hamidah dengan Sultan Mahmud.