Jakarta | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan/penerimaan hadiah atau janji di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Tahun Anggaran 2025. Penetapan tersangka ini terhadap Abdul Wahid setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Senin (3/11).
Selain Abdul Wahid, KPK juga menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) M. Arief Setiawan; serta Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam yang merupakan kader PKB sebagai tersangka.
“Setelah dilakukan pemeriksaan intensif pada tahap penyelidikan dan telah ditemukan unsur dugaan peristiwa pidananya, maka perkara ini naik ke tahap penyidikan, yang kemudian setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
Johanis menjelaskan rangkaian OTT terhadap Abdul Wahid dilakukan setelah KPK menerima pengaduan dari masyarakat. Menindaklanjuti laporan tersebut, tim KPK segera melakukan serangkaian pengumpulan bahan keterangan di lapangan.
Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan adanya pertemuan antara pejabat Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dengan sejumlah kepala UPT wilayah.
“Dari informasi awal, pada Mei 2025, terjadi pertemuan di salah satu kafe di Pekanbaru antara Ferry Yunanda, selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP, dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI,” terang Johanis.
Dalam pertemuan itu, dibahas kesanggupan pemberian fee sebesar 2,5 persen kepada Gubernur Riau Abdul Wahid atas penambahan anggaran tahun 2025 pada Dinas PUPR PKPP.
Penambahan anggaran nilainya signifikan dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar, atau meningkat Rp 106 miliar. Dari situ, muncul kesepakatan awal bahwa sebagian dari tambahan dana tersebut akan disetorkan kepada Gubernur Riau sebagai “jatah preman”. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah fee yang diminta meningkat.
“Ferry Yunanda kemudian menyampaikan hasil pertemuan itu kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan, yang merepresentasikan Gubernur. Dari sana, muncul permintaan kenaikan fee menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar,” ujar Johanis Tanak.
Menurut Johanis, permintaan setoran tersebut disertai ancaman terhadap para pejabat yang menolak.
“Bagi yang tidak menuruti perintah itu, diancam akan dicopot atau dimutasi dari jabatannya. Di lingkungan Dinas PUPR PKPP Riau, praktik ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” jelasnya.
Pola seperti ini, kata Johanis, menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan anggaran daerah. Setelah adanya tekanan tersebut, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP bersama Sekretaris Dinas kembali menggelar pertemuan lanjutan.
Dalam pertemuan itu, mereka akhirnya menyepakati besaran fee untuk Gubernur Abdul Wahid sebesar 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar. Kesepakatan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP menggunakan bahasa sandi.
“Dalam komunikasi internal, hasil pertemuan itu dilaporkan dengan kode ‘7 batang’, yang mengacu pada nilai fee Rp 7 miliar,” pungkas Johanis.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.








































