Batam | Modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kota Batam terus berkembang dan semakin mengkhawatirkan. Tidak lagi hanya menyasar warga dari kalangan ekonomi lemah, jaringan mafia internasional kini juga menarget generasi muda yang aktif di media sosial dan memiliki keterampilan bahasa asing maupun teknologi.
Mengantisipasi hal tersebut, Direktorat Jenderal Imigrasi melalui Kantor Imigrasi Kelas I TPI Batam memperkuat pengawasan dan edukasi masyarakat dengan membentuk desa binaan di wilayah rawan. Salah satunya di Kecamatan Sagulung, Batam, yang menjadi lokasi kegiatan Bakti Sosial pada Rabu (14/5).
Kegiatan yang menggandeng organisasi Puja Kesuma Provinsi Kepulauan Riau ini tidak sekadar menyalurkan bantuan 200 paket sembako dan 10 paspor gratis bagi warga Dapur 12, Kelurahan Sei Pelunggut. Lebih dari itu, kegiatan ini membawa pesan kuat tentang pentingnya peran masyarakat dalam pencegahan TPPO.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Kepri, Ujo Sutojo, secara tegas mengingatkan bahwa TPPO saat ini menggunakan cara-cara baru yang lebih halus dan terstruktur.
“Korban direkrut lewat media sosial. Mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar di luar negeri, padahal itu ilegal. Ada yang disekap, dipaksa bekerja 17 jam sehari, bahkan ada yang sampai menjual ginjalnya di Kamboja. Ini kejahatan yang sangat kejam,” ujar Ujo saat menyampaikan sambutan di Aula Kecamatan Sagulung.
Ujo juga menyampaikan bahwa aparat penegak hukum yang terlibat akan ditindak tegas sesuai peraturan.
“Kami tahu mafia ini bermain di banyak lini. Kalau ada yang ikut bermain di wilayah TPPO, siap-siap. Kami tidak akan toleransi,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Imigrasi Kelas I TPI Batam, Hajar Aswad, mengatakan Kecamatan Sagulung dipilih karena merupakan kawasan padat penduduk yang berbatasan langsung dengan laut. Kondisi ini sangat rentan dimanfaatkan sebagai jalur keluar-masuk korban TPPO.
“Kami sudah membentuk enam desa binaan di Sagulung, sebelumnya juga sudah dimulai di Sekupang. Program ini akan terus kami kembangkan. Kami ingin masyarakat menjadi bagian dari pengawasan. Mereka bisa menjadi mata dan telinga negara,” kata Hajar.
Menurutnya, edukasi tentang ciri-ciri perekrutan ilegal dan keberanian untuk melapor harus terus digalakkan. Ia menyebut, ribuan orang telah digagalkan keberangkatannya karena terindikasi sebagai korban TPPO.
“Itu bentuk perlindungan kami. Kami tidak ingin mereka menjadi korban di negeri orang,” lanjutnya.
Pemerintah Kota Batam melalui Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Yusfa Hendri, menyambut baik langkah Imigrasi. Ia menilai, pembentukan kelurahan binaan merupakan pendekatan strategis untuk mencegah perdagangan orang, terlebih Batam merupakan daerah perbatasan yang menjadi pintu keluar masuk utama pekerja migran.
“Sebagai daerah gateway, Batam sangat rawan terhadap praktik TPPO. Apa yang dilakukan Imigrasi ini sangat penting. Kita perlu membangun sistem pencegahan berlapis dengan melibatkan masyarakat,” kata Yusfa.
Ia berharap program ini menjadi ruang edukasi untuk mengingatkan bahwa bekerja ke luar negeri harus melalui jalur resmi, bukan lewat rayuan agen abal-abal yang menjebak.
Dengan memperluas desa binaan dan menggandeng organisasi masyarakat serta pemerintah setempat, Imigrasi berharap dapat membentuk ekosistem pengawasan yang kuat, partisipatif, dan berkelanjutan dalam melawan kejahatan perdagangan orang di wilayah perbatasan seperti Batam.