Gelombang Penolakan Melayu atas Perluasan KPBPB Batam, Udin Pelor : Ini Soal Marwah Bukan Sekadar Ekonomi

Panglime Besar Pasukan Adat dan Marwah Gagak Hitam, Arba Udin als Udin Pelor

Batam | Suara lantang Udin Pelor, Panglima Besar Pasukan Adat Gagak Hitam, menggema di tengah polemik rencana pemerintah memperluas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Bagi dirinya, kebijakan ini bukan sekadar persoalan aturan atau angka investasi, melainkan menyangkut marwah dan harga diri bangsa Melayu.

“Bagaimana sikap bangsa Melayu jika tanahnya dijadikan kawasan perdagangan bebas oleh pemerintah? Apakah leluhur kami hanya dilihat sebagai aset dagang?” katanya, Senin (8/9/2025).

Rencana pemerintah lewat revisi keempat PP Nomor 46 Tahun 2007 ini memang bukan hal kecil. Luasan wilayah yang hendak dimasukkan ke KPBPB mencapai 22 pulau, setara 152.686,44 hektare. Angka fantastis itu menjanjikan geliat ekonomi, namun di sisi lain menghadirkan kekhawatiran: apa kabar tanah dan hak masyarakat adat?

Bagi orang Melayu, tanah bukan sekadar ruang hidup, melainkan warisan leluhur yang menyimpan sejarah dan identitas.

“Kalau tanah sudah digadaikan atas nama investasi, lalu di mana letak kedaulatan bangsa?” tegasnya

Sejumlah pengamat memperingatkan, kebijakan ini rawan menimbulkan konflik agraria. Tanpa jaminan perlindungan hak adat, masyarakat lokal berpotensi tersisih oleh kepentingan modal besar. Ironisnya, hingga kini pemerintah lebih banyak menonjolkan narasi pertumbuhan ekonomi ketimbang kejelasan perlindungan rakyat.

“Ini bukan hanya soal pembangunan. Ini soal apakah negara masih menghargai identitas masyarakat adatnya sendiri,” kata seorang akademisi di Batam.

Polemik ini pun meluas, menjadi bahan perbincangan di tingkat nasional. Di tengah geliat investasi, suara rakyat Melayu seolah ingin mengingatkan ada hal-hal yang tak bisa dihitung dengan angka yakni marwah, harga diri, dan kedaulatan tanah leluhur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *