Batam | Aktivitas reklamasi liar di pesisir Teluk Tering, Batam Center, kembali menggeliat tanpa kendali. Kawasan yang dulu menjadi sandaran hidup para nelayan kini berubah menjadi lautan tanah timbunan. Reklamasi di sekitar Kampung Belian ini diperkirakan telah meluas hingga belasan bahkan puluhan hektare menandai babak baru kerusakan ekologi yang nyata di depan mata.
Pantauan awak media pada Selasa (8/7/2025) menunjukkan deretan alat berat masih terparkir di lokasi, menjadi bukti bahwa proyek ini belum benar-benar berhenti. Sehari sebelumnya, Wakil Kepala BP Batam, Li Claudia Chandra, sempat melakukan inspeksi mendadak. Sebuah plang bertuliskan pengawasan dari BP Batam kini berdiri, namun efektivitas pengawasannya dipertanyakan.
Informasi yang dihimpun menyebutkan setidaknya tiga perusahaan terlibat dalam proyek ini, salah satunya adalah PT Dirgantara Inti Abadi (DIA). Dugaan kuat mengarah pada rencana pengembangan kawasan hunian mewah di atas tanah reklamasi ini indikasi bahwa proyek berjalan lebih untuk kepentingan bisnis elit daripada kebutuhan masyarakat luas.
Reklamasi yang Terus Jalan Meski Pernah Disegel
Ketua Kelompok Nelayan Teluk Tering, Romi, mengungkap reklamasi telah berlangsung sejak 2021. Meski sempat disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, aktivitas penimbunan kini kembali berlangsung dengan intensitas tinggi.
“Dulu sempat berhenti. Sekarang malah makin masif. Laut kami makin sempit, hasil tangkapan makin hilang,” ujarnya.
Menurut Romi, sekitar 15 hektare lahan pantai telah berubah menjadi daratan. Lumpur dan material timbunan terbawa hujan ke laut, merusak terumbu karang, mencemari air, dan membuat nelayan kesulitan mendapatkan hasil laut seperti udang dan kepiting yang dulu melimpah.
“Kami minta lokasi ini segera disegel lagi. Jangan tunggu laut kami mati total,” tegasnya.
Romi juga mempertanyakan sikap BP Batam yang terkesan membiarkan aktivitas ini berlangsung tak jauh dari kantor mereka.
“Kalau tidak ada yang membekingi, mustahil reklamasi ini bisa jalan bertahun-tahun,” ujarnya penuh kekecewaan.
Kawasan Lindung yang Dirusak Demi Properti
Pegiat lingkungan dan pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, memperingatkan bahwa kawasan Teluk Tering adalah habitat penting padang lamun dan terumbu karang. Kawasan ini sempat disegel pada Juli 2023 oleh KLHK bersama DPR RI dan sejumlah pejabat kementerian.
“Salah satu lokasi yang disegel dulu, kini kembali dikerjakan. Ini bentuk pembangkangan terang-terangan terhadap hukum lingkungan,” katanya.
Hendrik menyebut aktivitas reklamasi kini meningkat drastis, membentang jauh ke laut hingga mendekati patok beton. Ia menilai ini sebagai bentuk eksploitasi ruang laut demi proyek properti elite.
“Dari 3 hektare jadi lebih dari 10 hektare. Mereka kerja siang malam, tak ada yang hentikan,” katanya prihatin.
Menurutnya, kawasan Teluk Tering dulunya dikenal sebagai Tanjung Lamun, sebuah wilayah pesisir yang penuh ekosistem laut. Kini, semuanya nyaris punah.
“Dulu alun-alun Engku Putri itu bagian dari laut. Sekarang sudah jadi daratan. Dan yang terjadi saat ini hanya mengulang cerita yang sama,” tegasnya.
Regulasi Dilanggar, Negara Diam?
Hendrik menyebut proyek ini berpotensi melanggar berbagai aturan, mulai dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Reklamasi, hingga peraturan teknis dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Ada sanksi administrasi, pidana, dan denda. Tapi sampai hari ini, siapa yang ditindak?” katanya.
Akar Bhumi Indonesia juga menyatakan tengah mengumpulkan bukti-bukti kuat untuk melaporkan kembali kasus ini ke aparat penegak hukum.
Pembangunan Vs Kelestarian
Kisah reklamasi Teluk Tering mencerminkan konflik abadi antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Di satu sisi, Batam terus didorong menjadi kawasan strategis nasional. Namun di sisi lain, tata kelola lingkungan hidupnya justru semakin amburadul.
Tanpa penegakan hukum yang tegas, masyarakat pesisir akan terus jadi korban. Sementara ruang hidup dan warisan alam untuk generasi mendatang perlahan menghilang dibawah tumpukan tanah reklamasi.