Batam | Harapan Intan Tuwa Negu, seorang asisten rumah tangga (ART) korban penyiksaan keji di kawasan Sukajadi, masih tertahan. Pasalnya, berkas perkara yang semestinya segera dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam hingga kini belum juga rampung dilengkapi oleh penyidik Polresta Barelang.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Batam, Priandi Firdaus, mengungkapkan bahwa saat berkas dikembalikan, jaksa peneliti menemukan sejumlah syarat formil dan materil yang belum terpenuhi.
“Pada saat mengembalikan berkas itu, kami memberikan petunjuk agar dilengkapi pihak penyidik,” jelas Priandi, Sabtu (13/9).
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aditya Syaummil menambahkan, hingga kini berkas tersebut belum kembali ke meja jaksa.
“Walaupun sudah kami kembalikan sejak 21 Agustus lalu, penyidik belum juga menyerahkan pelimpahan berkas itu kepada kami,” ungkapnya.
Meski begitu, Aditya menilai kondisi ini masih dalam batas waktu yang wajar. Sesuai aturan, penyidik diberi kesempatan 30 hari untuk melengkapi kekurangan berkas.
“Jika dalam 30 hari belum dilimpahkan, kami akan menyurati penyidiknya. Apabila lebih dari 60 hari, SPDP bisa dikembalikan,” tegasnya.
Kasus ini menyeret dua tersangka: Roslina, majikan korban, serta Merliyati, sepupu korban. Keduanya dijerat Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jo Pasal 55 KUHP. Jika berkas dinyatakan lengkap (P-21), keduanya akan segera diserahkan bersama barang bukti ke Kejaksaan untuk disidangkan.
Perkara ini mencuat pada 22 Juni 2025 setelah Regina Gin Juit menemukan unggahan Facebook yang menampilkan kondisi korban dengan wajah lebam dan tubuh penuh luka. Unggahan itu memicu kepolisian bergerak cepat hingga menangkap Roslina dan Merliyati sehari kemudian.
Hasil visum RS Elisabeth Batam mengungkapkan luka-luka parah pada tubuh korban: memar, lecet, bengkak hampir di seluruh tubuh, robekan pada bibir bawah, serta anemia akibat kekerasan tumpul. Dokter menyatakan Intan tidak dapat bekerja untuk sementara waktu.
Dalam pengakuannya, korban menuturkan bahwa penyiksaan sudah berlangsung sejak Desember 2024. Ia dipukul, ditendang, kepalanya dibenturkan, dipaksa makan nasi basi, tidur di kamar mandi, disiram air pel, dilecehkan secara verbal, bahkan dikurung dengan pengawasan CCTV.
Kasus ini menyedot perhatian publik Batam karena dianggap mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga di tengah tingginya kasus kekerasan.
“Kekurangan berkas harus segera dilengkapi agar proses persidangan bisa berjalan. Korban menunggu keadilan,” pungkas Priandi.